Runner-up dalam Sepak Bola. Dalam sepak bola, semua orang mengingat sang juara. Namun, menjadi runner-up (peringkat kedua) adalah pencapaian yang sering kali diabaikan, meskipun penuh dengan perjuangan, drama, dan kisah heroik. Tim yang finis sebagai runner-up telah melewati ratusan menit pertandingan, mengalahkan banyak lawan, dan hampir meraih puncak, tetapi harus puas dengan gelar hampir jadi yang terbaik!!.
Apa Arti Menjadi Runner-up?
Runner-up ini adalah sebuah tim yang kalah di partai final atau finis di posisi kedua dalam kompetisi liga/turnamen. Meski tidak akan secemerlang juara, gelar ini juga biasanya akan tetap menunjukkan:
- Konsistensi tinggi (di liga panjang atau turnamen).
- Kemampuan mengalahkan banyak tim kuat sebelum akhirnya takluk di final.
- Prestasi terbaik dalam sejarah bagi beberapa klub (contoh: Atalanta di Serie A 2020/21).
Mengapa Runner-up Sering Dilupakan?
Runner-up Identik dengan Kekecewaan
- Kekalahan di final lebih menyakitkan daripada tersingkir di babak awal.
Contoh: Jerman di Piala Dunia 2002 kalah dari Brasil, padahal Jerman hampir membawa trofi.
Minimnya Penghargaan
- Medali perak atau piala runner-up jarang dipamerkan dengan bangga seperti trofi juara.
Runner-up Terbaik dalam Sejarah Sepak Bola
Kroasia di Piala Dunia 2018
- Tim populasi 4 juta jiwa, mengalahkan Argentina, Inggris, tapi kalah dari Prancis di final.
- Luka Modrić tetap terpilih sebagai Pemain Terbaik Piala Dunia meski finis kedua.
Ajax 1995/96 di Liga Champions
- Kalah adu penalti dari Juventus, padahal punya generasi emas (Overmars, Kluivert, Seedorf).
Arsenal “The Invincibles” di Liga Champions 2005/06
- Tak terkalahkan di Premier League 2003/04, tapi kalah dari Barcelona di final Eropa.
Kisah Pahit Runner-up yang Tak Terlupakan
Bayern Munich 1999 vs Manchester United
- Memimpin 1-0 hingga injury time, tapi kalah 2-1 dalam 3 menit dramatis.
Argentina di Piala Dunia 2014
- Messi hanya beberapa meter dari trofi, tapi Jerman menghancurkan mimpi itu di menit 113′.
Liverpool di Premier League 2018/19 (97 Poin!)
- Kalah 1 poin dari Manchester City, menjadi tim dengan poin terbanyak yang tak juara.
Prestasi Runner-up yang Lebih Hebat dari Juara?
Beberapa tim runner-up sebenarnya:
- Konsisten (contoh: Napoli di Serie A 2022/23 finis di atas juara Liga Champions, Inter Milan).
- Mengalahkan lebih banyak tim kuat (contoh: Chelsea runner-up Liga Champions 2008, mengalahkan Liverpool & Barcelona di jalan menuju final).
- Memberi pertunjukan yang jauh lebih baik pada saat di final (contoh: Milan kalah adu penalti dari Liverpool 2005, padahal leading dengan selisih gol 3-0).
Bagaimana Tim Bangkit dari Status Runner-up?
Jadikan Kekalahan sebagai Motivasi
- Contoh: Real Madrid kalah dari Atletico di final 2014, tapi balas dendam di 2016 & 2017.
Pertahankan Inti Tim
- Dortmund 2013 kehilangan Gotze sebelum final, tapi pertahanin Lewandowski agar bangkit.
Perbaiki Kekurangan
- Prancis kalah dari Portugal di Euro 2016, tapi jadi juara dunia 2 tahun kemudian.
Penghargaan untuk Runner-up
Meski tak seterang juara, beberapa runner-up dapat pengakuan:
- Pemain Terbaik: Modrić (Piala Dunia 2018), Kahn (Piala Dunia 2002).
- Tim Paling Menghibur: Kroasia 2018 dipuji karena permainan ofensifnya.
- Peningkatan Reputasi: Atalanta jadi lebih dihormati usai jadi runner-up Coppa Italia 2021.
Kesimpulan
Menjadi runner-up memang pahit dan hampir menang, tapi tak cukup. Namun, posisi ini:
- Membuktikan tim adalah yang terbaik kedua dari ratusan peserta.
- Menunjukkan bahwa mereka mampu bertarung di level tertinggi.
- Bisa menjadi batu loncatan menuju kesuksesan masa depan.
Karena dalam sepak bola ini, tidak semua pemenang adalah juara dan tidak semua runner-up adalah pecundang. “Finis kedua ini bukan berarti kalah, tapi bukti bahwa kau hampir menjadi yang terbaik.”